Selasa, 19 Desember 2017

Cerita Dewasa Ngentot di Tempat Pijat Usai Kenalan di Dalam Angkot

Cerita Dewasa Ngentot di Tempat Pijat Usai Kenalan di Dalam Angkot

Cerita Dewasa Ngentot di Tempat Pijat Usai Kenalan di Dalam Angkot – Kali ini ADMIN CERITA DEWASA LENGKAP69 akan menceritakan Cerita Sex ketika diriku ngentot dengan cewek seksi di tempat pijat usai kenalan di dalam angkot. Mau tahu kelanjutan ceritanya? Langsung aja yuk baca dan simak baik-baik cerita dewasa ini.

Jakarta yg panas membuatku kegerahan di dalam angkot. Kantorku tak lama lagi keliatan di kelokan depan, kurang lebih 200m lagi. Tetapi aq masih betah di dalam angkot ini. Angin menerobos dari jendela. Masih ada waktu bebas 3 jam. Kerjaan untuk hari ini sudah aq selesaikan semalam. Daripada suntuk diam dirumah, tadi malam aq menyeleseaikan kerjaan yg masih menumpuk. Kerjaan yg menumpuk sama merangsangnya dengan seorang perempuan dewasa yg keringatan lehernya, yg aroma tubuhnya tercium. Aroma asli seorang perempuan. Baunya memang agak lain, tetapi mambu membuat seorang bujang menerawang hingga jauh ke alam yg belum pernah ia rasakan.

“Dik.. jendelanya jangan di buka lebar. Saya bisa masuk angin” kata perempuan setenga baya di depanku pelan.

Aq tersentak. Masih melongo.

“Tolong itu jendelanya direptin sedikit…” katanya lagi.

“Ini…? kataku.

“Iya itu”

Ya ampun, aq membayangkan suara itu berbisik di telingaku di atas tempat tidur yg putih. Keringatnya meleleh seperti yg kulihat sekarang. Nafasnya tersengal. Seperti kulihat ketika ia baru naik tadi, setelah mengejar angkot ini sekedar untuk dapat tempat duduk.

“Makasih” ujarnya ringan.

Aq sebetulnya ingin ada sesuatu yg bisa diomongkan lagi, sehingga tdk perlu curi-curi pandang melirik lehernya, dadanya yg terbuka cukup lebar sehingga terlihat garis bukitnya.

“Saya juga tdk suka angin kencang-kencang. Tapi saya gerah.” meloncat begitu saja kata-kata itu.

Aq belum pernah berani bicara begini, di angkot dengan seorang wanita, separuh baya lagi. Kalau kini aq berani pasti karena dadanya terbuka, pasti karena peluhnya yg membasahi leher, pasti karena aq terlalu terbuai lamunan. Ia malah melengos. Sial. Lalu asyik membuka tabloid. Sial. Aq tdk dapat lagi memandanginya.

Kantorku sudah terlewat. Aq masih di atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun masih duduk di depanku. Masih menutupi diri dengan tabloid. Tdk lama wanita itu mengetuk langit-langit mobil. Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon. Aq perhatikan ia sejak bangkit hingga turun. Mobil bergerak pelan, aq masih melihat ke arahnya, untuk memastikan ke mana arah wanita yg berkeringat di lehernya itu. Ia tersenyum. Menantang dengan mata genit sambil mendekati pintu salon. Ia kerja di sana? Atau mau gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya dikerlingkan, bersamaan masuknya mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba berdegup-degup.

“Bang, Bang kiri Bang..!”

Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka?

“Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,” sang supir menggerutu sambil memberikan kembalian.

Aq membalik arah lalu berjalan cepat, penuh semangat. Satu dua, satu dua. Yes.., akhirnya. Namun, tiba-tiba keberanianku hilang. Apa katanya nanti? Apa yg aq harus bilang, lho tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa?

Mendadak jari tanganku dingin semua. Wajahku merah padam. Lho, salon kan tempat umum. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Bodoh amat. Come on lets go! Langkahku semangat lagi. Pintu salon kubuka.

“Selamat siang Mas,” kata seorang penjaga salon,
“Potong, creambath, facial atau massage (pijit)..?”
“Massage, boleh.” ujarku sekenanya.

Aq dibimbing ke sebuah ruangan. Ada sekat-sekat, tdk tertutup sepenuhnya. Tetapi sejak tadi aq tdk melihat wanita yg lehernya berkeringat yg tadi mengerlingkan mata ke arahku. Ke mana ia? Atau jangan-jangan ia tdk masuk ke salon ini, hanya pura-pura masuk. Ah. Shit! Aq tertipu. Tapi tdk apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke ‘alam’ lain.

Dulu aq paling anti masuk salon. Kalau potong rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yg lehernya berkeringat itu begitu besar mengubah keberanianku.

“Buka bajunya, celananya juga,” ujar wanita tadi manja menggoda,
“Nih pake celana ini..!”

Aq disodorkan celana pantai tapi lebih pendek lagi. Bahannya tipis, tapi baunya harum. Garis setrikaannya masih terlihat. Aq menurut saja. Membuka celanaku dan bajuku lalu gantung di kapstok. Ada dipan kecil panjangnya dua meter, lebarnya hanya muat tubuhku dan lebih sedikit. Wanita muda itu sudah keluar sejak melempar celana pijit. Aq tiduran sambil baca majalah yg tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.

“Tunggu ya..!” ujar wanita tadi dari jauh, lalu pergi ke balik ruangan ke meja depan ketika ia menerima kedatanganku.
“Mbak Iin.., udah ada pasien tuh,” ujarnya dari ruang sebelah. Aq jelas mendengarnya dari sini.

Kembali ruangan sepi. Hanya suara kebetan majalah yg kubuka cepat yg terdengar selebihnya musik lembut yg mengalun dari speaker yg ditanam di langit-langit ruangan.

Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. Makin lama makin jelas. Dadaku mulai berdegup lagi. Wajahku mulai panas. Jari tangan mulai dingin. Aq makin membenamkan wajah di atas tulisan majalah.

“Halo..!” suara itu mengagetkanku. Hah..? Suara itu lagi. Suara yg kukenal, itu kan suara yg meminta aq menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu? Oh.., aq hanya dapat menunduk, melihat kakinya yg bergerak ke sana ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. Aq masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. Aq tdk ingat motifnya, hanya ingat warnanya.

“Mau dipijat atau mau baca,” ujarnya ramah mengambil majalah dari hadapanku,
“Ayo tengkurep..!”

Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. Aq tersetrum. Tangannya halus. Dingin. Aq kegelian menikmati tangannya yg menari di atas kulit punggung. Lalu pijitan turun ke bawah. Ia menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh. Ia menekan-nekan agak kuat. Aq meringis menahan sensasasi yg waow..! Kini ia pindah ke paha, agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan. Aq meringis merasai sentuhan kulit jarinya. Tapi belum begitu lama ia pindah ke betis.

“Balik badannya..!” pintanya.

Aq membalikkan badanku. Lalu ia mengolesi dadaku dengan cream. Pijitan turun ke perut. Aq tdk berani menatap wajahnya. Aq memandang ke arah lain mengindari adu tatap. Ia tdk bercerita apa-apa. Aq pun segan memulai cerita. Dipijat seperti ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu sudah jauh lebih nikmat daripada bercerita. Dari perut turun ke paha. Ah.., selangkanganku disentuh lagi, diremas, lalu ia menjamah betisku, dan selesai.

Ia berlalu ke ruangan sebelah setelah membereskan cream. Aq hanya ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. Ada cairan putih di celana dalamku.

Di kantor, aq masih terbayang-bayang wanita yg di lehernya ada keringat. Masih terasa tangannya di punggung, dada, perut, paha. Aq tdk tahan. Esoknya, dari rumah kuitung-itung waktu. Agar kejadian kemarin terulang. Jam berapa aq berangkat. Jam berapa harus sampai di Ciledug, jam berapa harus naik angkot yg penuh gelora itu. Ah sial. Aq terlambat setengah jam. Padahal, wajah wanita setengah baya yg di lehernya ada keringat sudah terbayang. Ini gara-gara ibuku menyuruh pergi ke rumah Tante Wanti. Bayar arisan. Tdk apalah hari ini tdk ketemu. Toh masih ada hari esok.

Aq bergegas naik angkot yg melintas. Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih dulu tiba di salonnya. Aq duduk di belakang, tempat favorit. Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos kencang hingga seseorang yg membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.

“Mas Tut..” hah..? suara itu lagi, suara wanita setengah baya yg kali ini karena mendung tdk lagi ada keringat di lehernya. Ia tdk melanjutkan kalimatnya.

Aq tersenyum. Ia tdk membalas tapi lebih ramah. Tdk pasang wajah perangnya.

“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.

Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kesialan, karena ia masih mengangkat tabloid menutupi wajah? Aq kira aq sudah terlambat untuk bisa satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan ia juga disuruh ibunya bayar arisan. Aq menyesal mengutuk ibu ketika pergi. Paling tdk ada untungnya juga ibu menyuruh bayar arisan.

“Mbak Iin..,” gumamku dalam hati.

Perlu tdk ya kutegur? Lalu ngomong apa? Lha wong Mbak Iin menutupi wajahnya begitu. Itu artinya ia tdk mau diganggu. Mbak Iin sudah turun. Aq masih termangu. Turun tdk, turun tdk, aq hitung kancing. Dari atas: Turun. Ke bawah: Tdk. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tdk. Ke bawah lagi: Turun. Ke bawah lagi: Tdk. Ke bawah lagi: Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing baju cuma tujuh?

Hah, aq ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tiap-tiap baju sama dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh. Sekarang hitung penumpang angkot dan supir. Penumpang lima lalu supir, jadi enam kali tujuh, 42 hore aq turun. Tapi eh.., seorang penumpang pakai kaos oblong, mati aq. Ah masa bodo. Pokoknya turun.

“Kiri Bang..!”

Aq lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. Aq lupa kelamaan menghitung kancing. Ya tdk apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.

“Mau pijit lagi..?” ujar suara wanita muda yg kemarin menuntunku menuju ruang pijat.
“Ya.”

Lalu aq menuju ruang yg kemarin. Sekarang sudah lebih lancar. Aq tahu di mana ruangannya. Tdk perlu diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. Kemudian menyerahkan celana pantai.

“Mbak Iin, pasien menunggu,” katanya.

Majalah lagi, ah tdk aq harus bicara padanya. Bicara apa? Ah apa saja. Masak tdk ada yg bisa dibicarakan. Suara pletak-pletok mendekat.

“Ayo tengkurap..!” kata wanita setengah baya itu.

Aq tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan aq memang benar-benar pegal, sehingga terbuai pijitannya.

“Telentang..!” katanya.

Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling tdk aq dapat melihat leher yg basah keringat karena kepayahan memijat. Ia cukup lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke bagian tepi celana dalam. Tapi belum tersentuh kepala penisku. Sekali. Kedua kali ia memasukkan jari tangannya. Ia menyenggol kepala penisku. Ia masih dingin tanpa ekspresi. Lalu pindah ke pangkal paha. Ah mengapa begitu cepat.

Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si Penis sudah mengeras. Betul-betul keras. Aq masih penasaran, ia seperti tanpa ekspresi. Tetapi eh.., diam-diam ia mencuri pandang ke arah penisku. Lama sekali ia memijati pangkal pahaku. Seakan sengaja memainkan Si Penis. Ketika Si Penis melemah ia seperti tahu bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di bagian pangkal paha. Lalu ia memijat lutut. Si Penis melemah. Lalu ia kembali memijat pangkal pahaku. Ah sialan. Aq dipermainkan seperti anak bayi.

Selesai dipijat ia tdk meninggalkan aq. Tapi mengelap dengan handuk hangat sisa-sisa cream pijit yg masih menempel di tubuhku. Aq duduk di tepi dipan. Ia membersihkan punggungku dengan handuk hangat. Ketika menjangkau pantatku ia agak mendekat. Bau tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah baya yg yg meleleh oleh keringat. Aq pertegas bahwa aq mengendus kuat-kuat aroma itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa juga wanita setengah baya ini ramah kepadaku.

Lalu ia membersihkan pahaku sebelah kiri, ke pangkal paha. Penis berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan agar ia dapat melihatnya. Di balik kain tipis, celana pantai ini ia sebetulnya bisa melihat arah turun naik Si Penis. Kini pindah ke paha sebelah kanan. Ia tepat berada di tengah-tengah. Aq tdk menjepit tubuhnya. Tapi kakiku saja yg seperti memagari tubuhnya. Aq membayangkan dapat menjepitnya di sini. Tetapi, bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yg di ruang sebelah yg kadang-kadang tanpa tujuan jelas bolak-balik ke ruang pijat.

Dari jarak yg begitu dekat ini, aq jelas melihat wajahnya. Tdk terlalu ayu. Hidungnya tdk mancung tetapi juga tdk pesek. Bibirnya sedang tdk terlalu sensual. Nafasnya tercium hidungku. Ah segar. Toket itu dari jarak yg cukup dekat jelas membayang. Cukuplah kalau tanganku menyergapnya. Ia terus mengelap pahaku. Dari jarak yg dekat ini hawa panas tubuhnya terasa. Tapi ia dingin sekali. Membuatku tdk berani. Ciut. Si Penis tiba-tiba juga ikut-ikutan ciut. Tetapi, aq harus berani. Toh ia sudah seperti pasrah berada di dekapan kakiku.

Aq harus, harus, harus..! Apakah perlu menhitung kancing. Aq tdk berpakaian kini. Lagi pula percuma, tadi saja di angkot aq kalah lawan kancing. Aq harus memulai. Lihatlah, masak ia begitu berani tadi menyentuh kepala Penis saat memijat perut. Ah, kini ia malah berlutut seperti menunggu satu kata saja dariku. Ia berlutut mengelap paha bagian belakang. Kaki kusandarkan di tembok yg membuat ia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang pahaku. Mulutnya persis di depan Penis hanya beberapa jari. Inilah kesempatan itu. Kesempatan tdk akan datang dua kali. Ayo. Tunggu apa lagi. Ayo cepat ia hampir selesai membersihkan belakang paha. Ayo..!

Aq masih diam saja. Sampai ia selesai mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat. Ia sudah membereskan peralatan pijat. Tapi sebelum berlalu masih sempat melihatku sekilas. Betulkan, ia tdk akan datang begitu saja. Badannya berbalik lalu melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. Makin lama suara sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok lagi, tapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang.

Aq hanya mendengus. Membuang napas. Sudahlah. Masih ada esok. Tetapi tdk lama, suara pletak-pletok terdengar semakin nyaring. Dari iramanya bukan sedang berjalan. Tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh. Eh.., kesempatan, kesempatan, kesempatan. Aq masih mematung. Duduk di tepi dipan. Kaki disandarkan di dinding. Ia tersenyum melihatku.

“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,” katanya.

Ia mencari-cari. Di mana? Aq masih mematung. Kulihat di bawahku ada kain, ya seperti saputangan.

“Itu kali Mbak,” kataku datar dan tanpa tekanan.

Ia berjongkok persis di depanku, seperti ketika ia membersihkan paha bagian bawah. Ini kesempatan kedua. Tdk akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia tadi begitu teliti membenahi semua perlatannya. Apalagi yg dapat tertinggal? Mungkin sapu tangan ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh dapat saja lupa pada sesuatu, juga pada sapu tangan. Karena itulah, tdk akan hadir kesempatan ketiga. Ayo..!

“Mbak.., pahaku masih sakit nih..!” kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aq masih bertahan duduk di tepi dipan.

Ia berjongkok mengambil sapu tangan. Lalu memegang pahaku,

“Yg mana..?”

Yes..! Aq berhasil.

“Ini..,” kutunjuk pangkal pahaku.

“Besok saja Sayang..!” ujarnya.

Ia hanya mengelus tanpa tenaga. Tapi ia masih berjongkok di bawahku.

“Yg ini atau yg itu..?” katanya menggoda, menunjuk Penisku.

Darahku mendesir. Penisku tegang seperti mainan anak-anak yg dituip melembung. Keras sekali.
“Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.”
Ia berdiri. Lalu menyentuh Penis dengan sisi luar jari tangannya. Yes. Aq bisa dapatkan ia, wanita setengah baya yg meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali ini dengan telapak tangan. Tapi masih terhalang kain celana. Hangatnya, biar begitu, tetap terasa. Aq menggelepar.

“Sst..! Jangan di sini..!” katanya.

Kini ia tdk malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke dalam celana dalamku. Lalu dikocok-kocok sebentar. Aq memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.
Agen Tangkas

“Jangan di sini Sayang..!” katanya manja lalu melepaskan sergapanku.
“Masih sepi ini..!” kataku makin berani.

Kemudian aq merangkulnya lagi, menyiuminya lagi. Ia menikmati, tangannya mengocok Penis.

“Besar ya..?” ujarnya.

Aq makin bersemangat, makin membara, makin terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia terengah-engah, ia menikmati dengan mata terpejam.

“Mbak Iin telepon..,” suara wanita muda dari ruang sebelah menyalak, seperti bel dalam pertarungan tinju.

Mbak Iin merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.

“Ngapaian sih di situ..?” katanya lagi seperti iri pada Iin.

Aq mengambil pakaianku. Baru saja aq memasang ikat pinggang, Iin menghampiriku sambil berkata,

“Telepon aq ya..!”

Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yg disobek sekenanya. Pasti terburu-buru. Aq langsung memasukkan ke saku baju tanpa mencermati nomor-nomornya. Nampak ada perubahan besar pada Iin. Ia tdk lagi dingin dan ketus. Kalau saja, tdk keburu wanita yg menjaga telepon datang, ia sudah melumat Si Penis. Lihat saja ia sudah separuh berlutut mengarah pada Penis. Untung ada tissue yg tercecer, sehingga ada alasan buat Iin.

Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar gembira dari wanita yg menunggu telepon. Ia hanya menampakkan diri separuh badan.

“Mbak Iin.., aq mau makan dulu. Jagain sebentar ya..!”

Ya itulah kabar gembira, karena Iin lalu mengangguk.

Setelah mengunci salon, Iin kembali ke tempatku. Hari itu memang masih pagi, baru pukul 11.00 siang, belum ada yg datang, baru aq saja. Aq menanti dengan debaran jantung yg membuncah-buncah. Iin datang. Kami seperti tdk ingin membuang waktu, melepas pakaian masing-masing lalu memulai pergumulan.

Iin menjilatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Aq menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yg tahu di mana titik-titik yg harus dituju. Aq terpejam menahan air mani yg sudah di ujung. Bergantian Iin kini telentang.

“Pijit saya Mas..!” katanya melenguh.

Kujilati toketnya, ia melenguh. Lalu memeknya, basah sekali. Ia membuncah ketika aq melumat klitorisnya. Lalu mengangkang.

“Aq sudah tak tahan, ayo dong..!” ujarnya merajuk.

Saat kusorongkan Penis menuju memeknya, ia melenguh lagi.

“Ah.. Sudah 3 tahun, benda ini tak kurasakan Sayang. Aq hanya main dengan tangan. Kadang-kadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aq belum siap. Ya sekarang..!” pintanya penuh manja.

Tetapi mendadak bunyi telepon di ruang depan berdering. Kring..! Aq mengurungkan niatku. Kring..!
Baca Juga : Cerita Dewasa Tukang Jamu Yang Montok Membuat Aku Jadi Bergairah

“Mbak Iin, telepon.” kataku.

Ia berjalan menuju ruang telepon di sebelah. Aq mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.

“Ya sekarang Sayang..!” katanya.

“Halo..?” katanya sedikit terengah.
“Oh ya. Ya nggak apa-apa,” katanya menjawab telepon.
“Siapa Mbak..?” kataku sambil menancapkan Penis amblas seluruhnya.
“Si Anis, yg tadi. Dia mau pulang dulu ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu,” kata Iin.

Setelah beberapa lama menyodoknya,

“Terus dong Yg. Auhh aq mau keluar ah.., Yg tolloong..!” dia mendesah keras.

Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.

“Yg.., cepat-cepat berkemas. Sebantar lagi Mbak Ita yg punya salon ini datang, biasanya jam segini dia datang.”

Aq langsung beres-beres dan pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.